Sabtu, 20 November 2010

Sepenggal Kisah



Jalan raya kali ini terasa begitu padat, sekali-nya jalan hanya bisa jalan beberapa centi. Tak lama hujan turun, yang mula-nya hanya gerimis kini menjadi deras, mungkin kali ini jalan raya akan semakin padat atau lebih tepatnya macet. Aku mengalihkan pandanganku keluar kaca jendela mobil, ada beberapa anak berseragam sekolah, lalu ada juga bapak-bapak serta ibu-ibu, mas-mas dan mbak-mbak, juga beberapa pengamen jalanan yang ikut berteduh di halte bus. Lalu mata-ku tertumbu pada seorang anak laki-laki kecil, badannya kecil, dan ia tetap saja melakukan tugas-nya yaitu ojek payung dengan senang hati karena terlihat jelas oleh-ku dari senyum-nya yang tersungging tanpa beban di wajah-nya. Tubuhnya menggigil, basah kuyup oleh terpaan  hujan, karena ia tidak mengenakan payung. Hal ini mengingatkan-ku pada sesuatu, ya sesuatu yang pernah terjadi kepada-ku juga.
Jakarta, 11 tahun yang lalu
“bu, Ibu sudah dapat rezeki belum?” aku bertanya kepada Ibu-ku yang sedang merias wajah-nya, Ibu menengok ke arah-ku lalu menghentikan aktifitas-nya.
“memang buat apa, Han?” tanya ibu lembut sambil menatap ke arah-ku.
“itu bu, Rihan disuruh bayar uang SPP, kalau tidak di bayar dalam waktu dua minggu ini, Rihan gak bisa ikut Ujian Nasional” kulihat wajah Ibu yang sudah lelah, walaupun begitu dimata-ku wajah ibu tetap cantik, kudengar Ibu menghela nafas lalu beliau menatap ke arah-ku sambil tersenyum.
“Ibu usahain ya Han, yaudah Ibu mau berangkat dulu, kamu di rumah hati-hati ya, Assalamualikum” seperti biasa Ibu selalu berkata begitu diakhir kalimat ketika Ibu mau berangkat kerja, aku pun mengangguk,dan menjawab “Ibu juga hati-hati, Waalikumsallam” Ibu tersenyum lalu bergegas pergi bekerja.
Semenjak Ayah-ku meninggal, Ibu-lah yang menjadi tulang punggung keluarga, aku dan Ibu hanya tinggal berdua di rumah kontrakan yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Ibu-ku hanya seorang sinden keliling dari satu rumah penduduk lalu ke rumah penduduk lain-nya, hasil dari menyinden pun tidak bisa dibilang cukup karena dari hasil menyinden itu harus dibagi-bagi kan kepada teman-teman Ibu yang ikut menyinden ataupun yang mengiringi Ibu ketika Ibu sedang menyinden. Sebenarnya, selama Ibu pergi kerja, aku tidak diam berduduk manis dirumah melainkan aku juga mencari pekerjaan yang setidak-nya aku mampu mengerjakan pekerjaan itu, seperti ojek payung, loper koran, ataupun tukang semir sepatu dan sampai sekarang Ibu tak pernah mengetahui kalau aku bekerja juga karena aku selalu pulang lebih dahulu dibanding Ibu. Seperti hari ini, aku akan menjadi tukang ojek payung karena kulihat langit mulai mendung. Aku pun mengambil satu buah payung di dapur lalu bergegas pergi ke terminal bus-sebelumnya aku mengunci pintu dahulu-. Benar saja sesampai di terminal bus hujan langsung turun, segeralah aku menawarkan jasa ojek payung-ku kepada orang-orang yang tidak membawa payung.
“ojek payung Bu?” tanyaku kepada Ibu-ibu yang sedang meneduh sambil membawa belanjaannya
“gak Dek, saya bawa payung” aku pun mengangguk seraya tersenyum kepada Ibu tadi. Lalu aku bergegas pergi dan kembali menjajakan jasa ojek payung-ku kepada orang-orang lain.
            Fiuh!aku mengelap air hujan yang ada di pelipis-ku. Baru saja aku mendapatkan 5 orang meskipun begitu aku tetap bersyukur, Ibu sering mengajarkan-ku untuk selalu sabar dan jangan putus asa, dan itu selalu aku lakukan dimana pun. Aku lihat hujan sudah reda, Aku pun segera bergegas pulang takut-nya Ibu sudah pulang. Tinggal sedikit lagi Aku sampai di rumah, tapi ada seseoang yang memanggil-ku mau tak mau aku menengok ke sumber suara yang memanggil-ku.
“Mang Dadang, ada apa Mang?” ternyata yang memanggilku Mang Dadang, teman almarhum Ayah-ku juga teman Ibu yang mengiringi-nya menyinden. Tapi, kulihat wajah Mang Dadang seperti murung
“Ibu-mu…kecelakaan Han” seperti tersambar petir aku mendengar berita itu, Ibu dialah satu-satu nya yang kumiliki saat ini, bagaimana bisa bukan-nya beberapa jam yang lalu aku masih berbicara dengannya
“Mang gak bohong kan?” Mang Dadang menggeleng pelan, tiba-tiba saja tubuh-ku limbung tapi segera ditopang Mang Dadang dan memapah ku kedalam rumah.
“Ibu…kok bisa, bagaimana kejadian-nya?”
“jadi Ibu-mu tadi sedang menyebrang untuk membeli minum, entah apa yang dipikirkan Ibu-mu seperti-nya dia tidak konsen menyebrang dan tiba-tiba ada truk yang…yang” Mang Dadang tidak melanjutkan kalimat-nya, tapi aku sudah tahu apa kelanjutan cerita Mang Dadang itu. Tak mau mengulur waktu aku segera ke rumah sakit diantar Mang Dadang. Selang-selang sedang dipasang  ditubuh Ibu, Ibu masih ditempatkan di ruang UGD. Lalu dokter juga berkata bahwa Ibu-ku harus melakukan operasi tapi sebelumnya aku harus melunasi administrasi-nya, dan aku harus mendapatkan uang untuk membiayai Ibu darimana?. Mungkin satu hal yang hanya bisa kulakukan yaitu berdoa dan tawakal.
            Pemakaman Ibu telah usai, tamu-tamu yang tadi melayat pun juga sudah pulang. Tepat-nya semalam Ibu menghembuskan nafas terakhir-nya, pihak rumah sakit tidak melakukan operasi  kepada Ibu hanya gara-gara aku tidak bisa melunasi administrasi-nya dan supir truk yang menabrak Ibu pun sekarang sedang menjadi buron. Sekarang aku sendiri, aku tahu harus pergi kemana karena sebelum Ibu meninggal Ibu berkata ‘nanti kalau Ibu sudah nggak ada, kamu datang saja ke panti asuhan kartika, disitu dulu Ibu dibesarkan’, Ibu dulu memang anak panti, aku tahu karena pada saat itu pula Ibu menceritakan masa kecil nya dulu di panti. Ibu berbicara seperti itu sekitar seminggu yang lalu, saat itu aku juga tidak mengerti mengapa Ibu berbicara seperti itu dan semua itu sudah terjawab sekarang. Mang Dadang sudah menawarkan-ku agar aku tinggal dengan-nya saja, tapi aku tidak ingin merepotkan Mang Dadang.  Aku melangkah pasti ke arah pintu dan mengetuk pintu. Pintu terbuka keluarlah wanita separuh baya.
            Sudah hampir satu tahun aku tinggal di panti ini, dan kemarin aku diberitahukan oleh Bu Ida-pemilik panti ini- bahwa ada yang ingin mengangkatku sebagai anak mereka. Aku sudah melihatnya namanya Tante Mida dan Om Doni, mereka seperti-nya baik dan aku dengan antusias menerima tawaran itu, siapa tahu aku bisa bersekolah lagi dan meneruskan cita-cita ku.
“sudah sampai Non” suara Pak Hamit-supirku-mengagetkan-ku yang sedang memutar film kecil di otak-ku tentang masa lalu-ku
“oh, ya terimakasih Pak” Pak Hamid mengangguk seraya tersenyum kepada-ku, lalu beliau menaiki mobil lagi dan memarkirkan mobil di parkiran. Sekarang aku sudah sukses berkat orang tua asuh-ku dan juga pasti berkat doa Ibu dan Ayah di atas sana. Di umur 25 tahun ini, Alhamdulillah aku sudah bisa menjadi seorang penulis buku yang cukup disegani. Asal kalian tahu, isi buku-buku ku yang ku tulis itu, kebanyakan mengenai pengalaman-ku dulu. Dan semua kerja keras-ku hingga kini, aku lakukan demi orang-orang yang kusayangi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar